Minggu, 28 November 2010

KEKAYAAN BANGSA SEHARUSNYA MILIK BANGSA


Zamrud khatulistiwa merupakan julukan yang tepat untuk negara kaya akan sumber daya alam yang terletak di garis khatulistiwa, Indonesia. Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang kaya raya antara lain kekayaan hutan, perkebunan, kelautan, barang-barang tambang, migas dan sebagainya. Selain itu letaknya yang stategis yaitu terletak antara dua benua dan dua samudra, membuat Indonesia menjadi jalur lalu lintas dunia. Oleh karena itu, tidak jarang kita melihat investor asing yang tertarik untuk membuka usaha di Indonesia. Mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kekayaan alam kita.
            Berdasarkan laporan Energy Information administration (EIA) Januari 2010, disebutkan selama tahun 2008 Indonesia memproduksi total minyak rata-rata sebesar 1,1 juta barel perhari dengan 81 persen (atau 894.000 barel) merupakan minyak mentah (crude oil). Sayangnya hampir 90 persen dari total produksi tersebut berasal dari perusahaan-perusahaan asing yang menguasai konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Di Indonesia terdapat 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi (migas). Sebanyak 85,4 persen dimiliki oleh korporasi asing sedangkan perusahaan nasional hanya mendapat sisa jatahnya, yaitu sebesar 14,6 persen. Keleluasaan korporasi asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia telah mendapat legitimasi dari Pemerintah Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kelahiran UU Migas No.22 tahun 2001 dan UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal memperluas kesempatan pihak asing untuk menguasai sector pertambangan dan migas kita.
            Dengan banyaknya korporasi asing yang mengelola kekayaan kita, apakah bangsa kita ikut merasakan keuntungannya? Ternyata tidak begitu. Sebanyak 11,5 juta Rakyat Indonesia menderita busung lapar atau gizi buruk, 120 juta Rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan (versi Bank Dunia), serta hutang luar negeri Indonesia terus meningkat dari Rp.1.200 triliyun di tahun 2004 jadi Rp.1.600 triliyun di tahun 2009. yang lebih ironis lagi kasus kelaparan hingga menewaskan 92 warga Yahukimo, Papua. Padahal tidak jauh dari sana berdiri perusahaan tambang asing besar, yaitu PT. Freeport Indonesia. Perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia yang luasnya mencapai 906.514 hektar. Meskipun kasus ini masih diperdebatkan, kita akan mempertanyakan di mana perhatian PT. Freeport Indonesia hingga kasus tersebut bisa terjadi?

Perlukah menasionalisasikan perusahaan asing?
            Setelah mempertimbangkan kerugian yang dihasilkan korporasi asing dibandingkan keuntungannya, banyak masyarakat berpikir mengapa bukan kita yang mengelola kekayaan alam kita sendiri? Pertanyaan ini merupakan tantangan untuk pemerintah kita. Sebab untuk mengambil alih suatu perusahaan asing seperti yang dilakukan Venezuela dan Bolivia, resiko yang akan kita hadapi antara lain:
  1. Negara akan berhadapan dengan arbitrase Internasional dengan keputusan yang jelas akan mempermasalahkan pengambilalihan atas dasar kekuasaan oleh Negara atas korporasi asing.
  2. Perekonomian juga akan terkena dampak turunan dari nasional sepihak tersebut mulai dari embargo, sanksi ekonomi, daftar hitam tempat investasi bahkan hingga serangan  militer.
  3. Negara harus bisa menyiapkan SDM yang kompeten serta teknologi-teknologi yang mutakhir untuk mengelola sumber daya tersebut.
Sebenarnya pernyataan nomor tiga sudah kita atasi melihat perguruan-perguruan tinggi yang tiap tahunnya mencetak cendikiawan-cendikiawan yang kompeten di bidangnya masing-masing. Namun kurangnya apresiasi dari Negara, menyebabkan para cendikiwan tersebut lebih memilih menjadi buruh di perusahaan asing dibandingkan menjadi bos di perusahaan nasional. Alasannya sedaerhana, upah yang didapat tiap bulannya lebih bulannya lebih besar dibanding  yang bekerja di perusahaan nasional.

Yang harus kita lakukan
            Untuk mengatasi kesengsaraan bangsa kita, kita lakuakn dulu dari diri kita sendiri yaitu membuang sifat matelialistis. Sifat ini merupakan sifat yang mendasari masalah-masalah kita dewasa ini. Salah satunya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang seolah sudah mendarah daging pada bangsa kita. Jika sifat itu sudah kita hilangkan, maka tidak akan ada lagi kontrak kerja sama atau paket perundang-undangan yang melegalkan pihak asing menjarah kekayaan kita dan mengorbankan kesejahteraan rakyat Indonesia hanya untuk memperkaya diri sendiri. Selain itu akan terciptanya cendikiawan-cendikiawan qualified yang mau mengabdi pada bangsa dan Negara tanpa pamrih. Hingga suatu saat nanti tercipta Negara Indonesia yang sejahtera dan mandiri dengan dapat mengelola kekayaan alamnya sendiri.

*Pernah diterbitkan dalam Aufklarung LPPMD Unpad

0 komentar:

Posting Komentar